Istilah Pancasila dalam Buddhisme bukan merupakan sesuatu yang asing. Sehingga ketika mencoba untuk mempertautkan Pancasila Bung Karno dengan Buddhisme, maka pertanyaan yang muncul adalah mungkinkah Bung Karno terinspirasi oleh Buddhisme dalam penggunaan istilah Pancasila dalam merumuskan Dasar Negara Indonesia Merdeka? Tentu untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam. Dalam Pidatonya Pada 1 Juni 1945, Bung Karno mengemukakan gagasannya di hadapan sidang BPUPK tentang dasar Negara yang ia sebut sebagai Pancasila. Dalam uraiannya tentang prinsip ketuhanan yang berkebudayaan, Bung Karno berkata:
“Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri, yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih; yang Islam menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW; Yang Buddha mejalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua berTuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya berTuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme agama. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang berTuhan.”
Ketuhanan tanpa “egoisme agama” adalah istilah yang digunakan oleh Bung Karno untuk menggambarkan ketuhanan yang berkebudayaan, ketuhanan yang berbudi pekerti luhur, ketuhanan yang saling mencintai dan memuliakan antar yang satu dengan yang lainnya. Begitu banyak sebutan bagi Tuhan namun perwujudan-Nya sama yaitu kecintaan kita pada Tuhan diwujudkan melalui cinta terhadap alam semesta, cinta terhadap sesama manusia, dan cinta terhadap semua makhluk.
Konsep ketuhanan menurut agama Buddha memang berbeda dengan agama-agama pada umumnya yang menganut konsep bahwa alam semesta dan seluruh isinya diciptakan oleh Tuhan dan tujuan dari hidup manusia adalah kembali ke surga ciptaan Tuhan yang kekal. Konsep ketuhanan dalam agama Buddha dijelaskan oleh Sang Buddha sebagaimana terdapat dalam kitab Sutta Pitaka Udana VIII: 3 sebagai berikut:
“Ketahuilah para Bhikkhu bahwa ada sesuatu Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak. Karena ada Yang Tidak Dilahirkan, Yang Tidak Menjelma, Yang Tidak Tercipta, Yang Mutlak itulah memungkinkan kita dapat terbebas dari kelahiran, penjelmaan, penciptaan/pemunculan dari sebab masa lalu.”
Kutipan Sutta PitakaUdana VIII: 3 tersebut juga dapat dijelaskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam Buddhisme adalah pencapaian tertinggi dalam praktik kebajikan yang dalam istilah bahasa Pali disebut dengan Nibbana/Nirwana. Dengan kata lain Ketuhanan Yang Maha Esa itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dijelaskan, tidak dapat dipersonifikasikan namun dapat direalisasikan atau dicapai.
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, oleh Bung Karno ditegaskan bahwa kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, penjajahan manusia oleh manusia lain tidak dibenarkan, penghisapan manusia atas manusia lain harus dihilangkan dari muka bumi. Selain itu kemanusiaan ini ditegaskan oleh Bung Karno sebagai titik temu dari pergaulan antar bangsa-bangsa didunia. Menurut konsepsi Buddhisme, kemanusiaan merupakan pengkristalan dari Dharma itu sendiri. Apapun bentuk dari praktik Dharma adalah bertujuan untuk memuliakan kemanusian, bahkan semua mahkluk. Umat Buddha harus senantiasa mengembangkan empat sikap batin yang luhur (brahmavihara) yaitu metta (pikiran cinta kasih universal), karuna (welas asih), mudita (simpati), dan uppekkha (batin yang seimbang).
Sila Persatuan Indonesia, Bung Karno mengatakan bahwa “kita hendak mendirikan suatu Negara yang semua untuk semua” hal disampaikan Bung Karno untuk menekankan bahwa Indonsia merdeka bukan hanya untuk satu golongan saja melainkan untuk semua golongan. Selain itu sila persatuan Indonesia ini juga merupakan semangat atau pengejawantahan dari semangat sumpah pemuda. Di dalam agama Buddha, Sang Budha juga menekankan pentingnya persatuan sebagaimana terdapat dalam Dhammapada 194 yang berbunyi “Kerukunan dalam kelompok memberikan kebahagian”. Selain itu di dalam Anguttara Nikaya, Sang Buddha bersabda bahwa “babi-babi hutan yang bersatu bahkan mampu membunuh harimau karena batinnya berpadu”.
Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan, jika kita menelaah maka ada beberapa kata kunci dalam sila ke empat ini yaitu menjunjung kedaulatan rakyat, pemimpin yang hikmat dan bijaksana, memuliakan permusyawaratan dan perwakilan. Jika hal tersebut sungguh-sungguh dilakukan maka dapat dipastikan bahwa tatanan bernegara kita akan semakin mudah untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang adil dan makmur. Sang Buddha, dalam Mahaparinibbana Sutta bersabda sebagai berikut:
“Ananda, apakah Engku mendengar bahwa kaum Vajji (Waji) sering mengadakan permusyawarahan dan adakah permusyawarahan mereka itu dihadiri cukup banyak pesertanya?”
Lalu Ananda menjawab, “Bhante demikianlah yang saya dengar bahwa kaum Waji sering mengadakan permusyawarahan yang dihadiri cukup banyak pesertanya.”
Sang Buddha melanjutkan penjelasannya, “Ananda, Selama kaum Waji sering mengadakan permusyawarahan dan permusyawarahan mereka dihadiri oleh banyak peserta, maka dapatlah diharapkan perkembangan dan kemajuan mereka bukan keruntuhan mereka”.
Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, diidealiskan oleh Bung Karno sebagai titik tuju dari Indonesia merdeka. Segala bentuk pembangunan bangsa dalam rangka mengisi kemerdekan hendaknya dilakukan dengan seadil-adilnya. Keadilan hanya akan tercipta jika seluruh komponen anak bangsa memiliki kemauan untuk saling berbagi dan melayani. Seluruh komponen anak bangsa saling menguatkan dalam napas kemanusiaan. Sang Buddha, menguraikan tentang pentingnya saling berbagi dan melayani ini dalam Sigalovada Sutta, di mana setiap orang memiliki kewajiban dan hak untuk dilayani dan melayani, untuk dibagi dan berbagi. Sang Buddha menguraikan tentang hubungan antara anak dengan orang tua, suami dengan istri, guru dengan murid, hubungan dengan sahabat, pekerja dengan majikan. Inti dari hubungan tersebut adalah bagaimana saling memuliakan dalam hidup sehingga terciptanya keharmonisan, kesetaraan dan keadilan.
Pancasila adalah nasihat landasan moral agama Buddha, yang ditaati oleh pengikut Siddhartha Gautama. Kata Pancasila ini bersumber dari bahasa Sanskerta pañcaśīla dan berarti adalah Lima Kemoralan. Pancasila Buddhis digunakan untuk seseorang yang akan memasuki kehidupan beragama Buddha. Sang Buddha bersabda bahwa, “Barang siapa sempurna dalam sila dan mempunyai pandangan terang, teguh dalam dhamma, selalu bercakap berlaku dan memenuhi segala kewajibannya, karenanya semua orang akan mencintainya (Dhammapada, XVI: 217).
Dalam agama Buddha, mentaati Pancasila dianggap merupakan suatu dharma.
Pancasila berbunyi sebagai berikut:
- Diri sendiri bertekad melatih diri untuk menghindari pembunuhan (nilai kemanusiaan) rumusan mencapai samadi.
- Diri sendiri bertekad melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan (nilai keadilan)guna mencapai samadi.
- Diri sendiri bertekad melatih diri untuk tidak memainkan tingkah laku asusila (berzinah, menggauli suami/istri orang lain, nilai keluarga)guna mencapai samadi.
- Diri sendiri bertekad untuk melatih diri menghindari ucapan yang tidak berlaku /berbohong, berdusta, fitnah, omongkosong (nilai kejujuran)guna mencapai samadi.
- Diri sendiri bertekad untuk melatih diri menghindari segala minuman dan makanan yang dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan (nilai pembebasan)guna mencapai samadi.
Dalam Vasala Sutta, Sutta Nipāta dikatakan jangan menilai manusia dari kelahiran atau fisiknya; tapi dari perbuatannya. Ini mempertegas pentingnya seseorang memiliki moralitas yang baik. Guru Agung Buddha menyebutkan lima manfaat pelaksanaan Pañcasīla. Yaitu: mendapatkan kekayaan yang berlimpah melalui usaha yang giat dan tekun, reputasi baiknya tersebar luas, penuh percaya diri dalam pergaulan, meninggal dengan tenang, dan setelah meninggal dunia terlahir kembali di alam surga. (Māhaparinībbānā Suttā – Digha Nikaya 16)
Dalam Dhamma dikatakan pula bahwa seseorang yang ingin hidup bahagia, selayaknya untuk menjaga jasmani, ucapan, dan pikirannya sepanjang siang dan malam; maka kebahagiaan akan selalu menyertai mereka yang melakukannya.
Sungguh sulit untuk terlahir sebagai manusia, jangan sampai kita terjerumus kepada kenikmatan duniawi yang menyebabkan perilaku kita jauh dari moralitas dan etika. Marilah kita kuatkan tekad untuk selalu bersemangat mempraktikkan Pañcasīla dalam kehidupan terlahir sebagai manusia; karena terlahir sebagai manusia adalah yang terbaik dan termulia.