Dalam kehidupan sosial, kita sering menemui orang yang bermuka dua (munafik) atau bersifat penjilat (suka menjilat atasan untuk keuntungan pribadi). Perilaku seperti ini tidak hanya merusak hubungan antarmanusia tetapi juga dapat menimbulkan karma buruk menurut ajaran Buddha. Agama Buddha mengajarkan kejujuran, kebijaksanaan, dan ketulusan sebagai landasan moral.
Di dalam kehidupan sehari-hari pun sering kita temui, contohnya banyak terjadi di kalangan pejabat yang rela menjilat untuk kenaikan pangkat. Selain itu banyak juga pejabat atau politisi yang memiliki muka dua. Tidak sedikit kita temui perbedaan kepribadian politisi saat di depan masyarakat dan saat di belakang masyarakat. Saat berkampanye mereka seolah-olah pro terhadap rakyat serta menunjukkan kepribadian yang baik hati, tidak sombong, dan mengayomi masyarakat. Namun saat setelah menjabat mereka berbuat sebaliknya, bahkan banyak yang melakukan tindak korupsi demi keuntungan pribadi. Artikel ini akan membahas bahaya sifat bermuka dua dan penjilat berdasarkan Sutta, kisah, serta konsep karma dalam Buddha Dharma.
Teori dalam Agama Buddha tentang Kemunafikan dan Penjilat
Buddha mengajarkan bahwa kemunafikan dan sifat penjilat termasuk dalam Musāvāda (berbohong) dan Māyā (penipuan), yang merupakan pelanggaran terhadap Sila (moralitas). Dalam Digha Nikāya 31 (Sigalovada Sutta), Buddha menjelaskan bahaya bergaul dengan teman yang tidak baik, termasuk mereka yang:
1. Munafik – bersikap baik di depan tetapi menikam dari belakang.
2. Pembohong – mengatakan sesuatu yang tidak benar untuk mengambil keuntungan.
3. Penjilat – memuji berlebihan untuk mendapatkan simpati atau keuntungan.
Selain itu, dalam Anguttara Nikāya 3.28, Buddha menyebutkan bahwa orang yang bermuka dua akan terlahir di alam menderita karena perbuatan buruknya.
Kisah tentang Bahaya Bermuka Dua
Kisah Devadatta
Devadatta adalah sepupu Buddha yang awalnya menjadi bhikkhu tetapi kemudian iri dan berusaha mencelakai Buddha. Ia berpura-pura setia di depan murid-muridnya tetapi diam-diam menghasut perpecahan dalam Sangha. Akibat perbuatannya, Devadatta terlahir di alam neraka Avīci karena karma buruknya (Cullavagga VII). Kisah ini menjadi pelajaran betapa berbahayanya sifat munafik dan iri hati.
Kisah Raja Pasenadi dan Penasihat yang Menjilat
Dalam Samyutta Nikāya 3.18, diceritakan bahwa Raja Pasenadi memiliki penasihat yang selalu memujinya tanpa memberikan nasihat jujur. Suatu hari, Buddha menasihati raja bahwa teman sejati adalah yang berani mengatakan kebenaran, bukan yang hanya menjilat. Raja kemudian mengusir penasihat tersebut dan menggantinya dengan orang yang lebih bijaksana.
Akibat Karma dari Sifat Bermuka Dua dan Penjilat
Menurut hukum karma (Kamma-vipāka), perbuatan bermuka dua dan menjilat akan membawa akibat:
1. Kehilangan Kepercayaan – Orang yang dikenal munafik akan dijauhi.
2. Terlahir di Alam Menderita – Seperti dalam Dhammapada: 17-18, kebohongan dan kemunafikan mengarah pada kelahiran di alam rendah.
3. Penderitaan Batin – Hidup dalam kepura-puraan menciptakan kegelisahan dan ketidakbahagiaan.
Bermuka dua dan menjadi penjilat adalah perbuatan tercela yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Agama Buddha mengajarkan Sacca (kebenaran) dan Metta (cinta kasih) sebagai landasan pergaulan. Dengan menghindari kemunafikan, kita menciptakan karma baik dan kedamaian dalam hidup.