TAMAK, SISI GELAP DIRI DAN MEMBAWA KEHANCURAN

TAMAK, SISI GELAP DIRI DAN MEMBAWA KEHANCURAN

Fenomena perilaku buruk oknum politisi, pejabat dan pengusaha

Belakangan ini, kita diperlihatkan oleh oknum politisi yang tersandung kasus korupsi, media sosial hingga televisi, hampir setiap hari membahas kasus korupsi yang melibatkan elit pengurus partai politik dan penguasaha. Perilaku amoral tersebut memperlihatkan gaya politisi di negeri ini yang kurang bersyukur dan memperlihatkan sisi gelap diri yang amat sangat serakah.

Dalam ajaran Buddha, salah satu akar penyebab penderitaan adalah lobha atau keserakahan, yang dalam bahasa sehari-hari sering disebut tamak. Tamak bukan sekadar keinginan untuk memiliki sesuatu, melainkan nafsu yang berlebihan, tanpa batas, dan sering kali mengorbankan kebahagiaan orang lain demi kepuasan pribadi. Sifat ini, meskipun tampak biasa atau bahkan dianggap wajar dalam kehidupan modern, sebenarnya memperlihatkan sisi gelap diri yang dapat membawa penderitaan besar bagi diri sendiri maupun orang lain.

Tamak muncul dari ilusi bahwa kebahagiaan sejati dapat diperoleh melalui pemilikan materi, kekuasaan, atau status. Namun, sifat tamak ibarat api yang tak pernah padam semakin diberi, semakin ia membara. Kepuasan yang dihasilkan hanyalah sementara, karena setelah mendapatkan apa yang diinginkan, muncul keinginan baru yang lebih besar.

Sebagai contoh, seseorang yang tamak akan harta sering kali terjebak dalam lingkaran tak berujung untuk mengejar kekayaan, tanpa memperhatikan dampaknya terhadap keseimbangan hidupnya. Ketika fokus pada “memiliki” menggantikan “menjadi,” kehidupan menjadi penuh tekanan, kecemasan, dan ketidakpuasan.

Seperti yang terjadi belakangan ini, dialami oleh pejabat publik dan pengusaha yang saling memenuhi hasrat nafsu dengan memperkaya diri dan kelompok diatas penderitaan, ketidak adilan dan lemahnya ekonomi yang sedang dialami oleh masyarakat. Kasus korupsi 300 Triliun hanya berakhir dengan hukuman ringan. Hukum tersebut tentunya sangat tidak sebanding dengan yang diperbuat.

Sifat tamak tidak hanya merugikan orang lain, tetapi juga memperlihatkan sisi gelap dari diri seseorang. Tamak mencerminkan ketidakmampuan untuk merasa cukup dan kurangnya rasa syukur terhadap apa yang telah dimiliki. Dalam konteks spiritual, tamak mengungkapkan kegelapan batin berupa ketidaktahuan (avijjā) tentang hakikat kehidupan.

Dalam Dhammapada, Sang Buddha mengingatkan:“Bukan karena hujan emas, nafsu keinginan dapat dipuaskan. Orang bijaksana mengetahui bahwa nafsu adalah sumber penderitaan.” (Dhammapada 186) Seseorang yang tamak menunjukkan ketidakseimbangan batin, di mana ego berperan dominan, menutupi potensi kebaikan dan welas asih yang ada dalam dirinya.

Untuk mengatasi tamak, Sang Buddha mengajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan, terutama pada tiga aspek berikut:

  1. Pandangan Benar (Samma Ditthi): Menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak bersumber dari pemilikan, tetapi dari kedamaian batin dan kebijaksanaan.
  2. Kesadaran Benar (Samma Sati): Melatih kesadaran penuh terhadap pikiran dan keinginan, sehingga dapat mengenali tanda-tanda tamak sebelum ia menguasai diri.
  3. Perenungan Benar (Samma Samadhi): Memusatkan pikiran melalui meditasi, yang membantu membersihkan batin dari kecenderungan negatif, termasuk keserakahan.

Selain itu, praktik dana (berbagi) adalah cara efektif untuk melemahkan sifat tamak. Dengan memberikan sebagian dari apa yang kita miliki kepada mereka yang membutuhkan, kita melatih rasa cukup dan mengembangkan kebajikan.

Setiap manusia memiliki sisi gelap, termasuk tamak. Namun, sisi gelap ini tidak harus menjadi penghalang dalam perjalanan spiritual. Sebaliknya, ia dapat menjadi pengingat bahwa kebajikan dan kebijaksanaan adalah kunci untuk mencapai pencerahan.

Dengan menyadari dan mengatasi tamak, kita tidak hanya membebaskan diri dari penderitaan, tetapi juga membawa kedamaian dan kebahagiaan bagi orang-orang di sekitar kita. Sebagaimana Sang Buddha mengajarkan, hanya melalui penerangan batin, kita dapat mengatasi kegelapan dan menemukan kebebasan sejati.

Leave a Comment

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *