Perjalanan dari Tangerang menuju vihara Viriya Manggala di desa Tanjung Kecamatan Pakisaji Kabupaten Jepara Jawa Tengah kurang lebih ditempuh 12 jam dengan menggunakan transportasi Bus. Sore hari sekitar pukul 15.15 WIB, tiba di bundaran Ngabul Kecamatan Pakis Aji. Setelah menunggu kurang lebih 30 menit, datanglah jemputan yang mengantarkan menuju Vihara Viriya Manggala. Perjalanan semakin menyenangkan dan mengesankan karena jalanan berkelok dan naik turun. Mengingat Vihara Viriya Manggala berada di daerah dataran tinggi.
Ke esokan harinya berkunjung ke rumah ketua Vihara Viriya Manggala, beliau bernama Bapak Kaspari. Beliau menceritakan sejarah awal perkembangan umat Buddha di Vihara Viriya Manggala desa Tanjung, hal ini sepengatahuan beliau yang diperoleh dari turun temurun cerita para sesepuh terdahulu vihara.

Dalam perjalanan berkembangnya umat Buddha desa tanjung sebelum tahun 1969, umat Buddha belajar bersama di desa Plajan (desa sebelah desa tanjung), dalam belajar ajaran Buddha terdapat pembimbing seorang Dharmaduta yang berjumlah 3 orang, mereka adalah bapak karni,bapak kalam dan bapak kandar. 3 orang tesebut berasal dari desa tunahan kecamatan Keling. Setiap mengajarkan pengetahuan tentang ajaran Buddha, ketiga tokoh tersebut berjalan kaki, bahkan berkeliling dari desa Tanjung, desa Gronggong hingga desa Plajan.
Umat Buddha desa Tanjung mengingat pentingnya tempat untuk belajar, maka kemudian mendirikan tempat belajar tentang agama Buddha yang biasa disebut Sanggar Pamojan (tempat berdoa) bernama pertivanggono. Dahulu pakai gubuk dan rumbia, kemudian pindah tempat yang lebih luas dan lebih tepat untuk belajar. Mbah Klimpok smemberikan hibah tanah untuk pembangunan tempat belajar ajaran Buddha yang kemudian membangun sanggar pamojan bernama Pertivanggono.
Kemudian pada tahun 1969 Sanggar Pamojan berganti nama menjadi Vihara Viriya Manggala hal tersebut mengingat umat Buddha berkembang hingga mencapai 24 KK, dan selanjutnya vihara di purna pugar yang pertama. Sekitar tahun 1980 datanglah bapak Pramono Wirono, beliau Dharmaduta dengan membawa pengetahuan agama Buddha dengan menggunakan bahasa jawa, dalam praktiknya berdoa menggunakan bahasa jawa digunakan pada setiap rabu wage.
Pada tahun 1992 datang seseorang Dharmaduta bernama pak sahlan hidayat dari semarang yang kemudian memberikan pembinaan dan pengetahuan ajaran Buddha tentang mahzab Mahayana. Beliau juga mengajari pemuda-pemudi untuk belajar bahasa sanksekerta, bahkan pemuda-pemudi diberikan fasilitas belajar agama Buddha mahzab Mahayana di Jakarta.
Pada tahun 2007 Vihara Viriya Manggala purna pugar agar lebih besar, mengingat umat Buddha desa Tanjung berkembang sampai 43 Kepala Keluarga sekitar berjumlah 145 jiwa. Purna Pugar Vihara tak lepas dari semangat umat Buddha desa Tanjung agar memiliki tempat Ibadah yang nyaman dan indah. Gotong royong menjadi pondasi rasa saling mengerti dan memahami untuk menjadikan Vihara Viriya Manggala lebih indah.

Pada saat proses pembangunan Vihara Viriya Manggala umat berbagi tugas dalam menyediakan makanan setiap harinya kepada tukang bangunan, bergilir dari satu kepala keluarga hingga kepala keluarga lainnya mendapatkan bagian menyediakan makanan. Bahkan secara sukarela bagi umat menjadi tukang/mandor dalam purna pugar Vihara. Selain itu, Vihara Viriya Manggala juga mendapatkan dukungan dari berbagai pihak termasuk donatur dari luar kota. Hingga saat ini umat Buddha desa Tanjung berkembang dan terbina dengan baik, tentunya dalam proses kebaktian tetap menggunakan bahasa jawa disetiap rabu wage. Menurut bapak kaspari, bahasa jawa tetap harus digunakan mengingat kita harus tetap menjaga budaya jawa, bahwa asal usul leluhur dari orang jawa
